Sungguh, Nabi Muhammad sangat bangga karena ia telah menikahi wanita yang selalu menemani, mendukung, dan amat mencintainya. Sebagai salah satu bukti adalah ditunjukkan ketika Muhammad menerima wahyu pertamanya, dan ketika itu juga beliau diangkat menjadi seorang nabi dan Rasulullah.
Waktu itu di bulan Ramadhan. Pada saat itu, usia pernikahan mereka kurang lebih sudah berjalan 15 tahun, sedangkan Muhammad ketika itu berusia 40 tahun. Seperti biasa, Muhammad berniat menuju gua Hira untuk menyendiri, gua tersebut merupakan gua kecil yang terdapat di Bukit Cahaya (jabal nur) yang terletak di utara Mekkah. Sebelum kepergian Muhammad untuk menyendiri, Siti Khadijah mendapati suaminya itu sedang dalam kecamuk gelisah mencari kebenaran sejati. Saat itulah Khadijah tampil utuh sebagai istri teladan. Ia ikhlas, tahu, dan mengerti dengan sepenuh hati, bahwa maksud kepergian suaminya itu untuk mencari ketenangan beribadah dan mencari hakikat kebenaran sejati. Maka, Siti Khadijah mendukung sepenuhnya niat suaminya itu.
Dihadapkan pada kebiasaan sang suami tercinta ini, yaitu pergi ke gua Hira untuk bermunajat, Siti Khadijah sama sekali tidak pernah menghalang-halanginya untuk melakukannya dan tidak pernah melarang untuk pergi ke gua Hira. Ia justru menyediakan segala kebutuhan Rasulullah saat itu dan mendoakannya.
Ketika Islam mengalami tekanan yang berat dari musuh-musuhnya, Siti Khadijah mengorbankan kesenangannya, kekayaannya dan rumahnya untuk Islam, dan kini tampak bahwa ia pun mengorbankan hidupnya. Sebenarnya ia bisa tetap tinggal di rumahnya yang megah dan dikelilingi pelayan-pelayannya. Namun, ia tetap memilih tinggal bersama suami dan keluarganya serta berbagi kepahitan hidup bersama mereka. Selama masa peperangan, ia tidak hanya menahan sakitnya rasa lapar dan haus, tetapi juga sengatan panas di musim panas dan dingin yang menggigit di musim dingin. Namun, ia tidak pernah mengeluh kepada suaminya tentang semua itu. Di masa susah ataupun senang, baik ia dalam keadaan cukup dan kekurangan, ia selalu tampak gembira. Sikap inilah yang selalu menjadi sumber kebahagiaan, keberanian dan kekuatan bagi sang suami selama masa yang paling krisis dalam kehidupannya.
Seorang istri yang hatinya tulus adalah istri yang tidak meninggalkan suaminya pada waktu mengalami bermacam cobaan, sebagaimana ia telah bersama pada saat merasakan kebahagiaan. Dengan demikian, ia juga harus bersama-sama pada saat berada dalam kondisi sulit tanpa disertai rasa resah dan marah.
Selain mendukung dakwah suaminya, Siti Khadijah juga senantiasa bekerjasama dengan beliau, misalnya dalam hal perniagaan. Rasulullah adalah sosok yang rajin, giat dan tangkas di dalam menjalankan perniagaannya. Beliau memberikan waktu dan perhatian yang besar kepada aktivitas perniagaannya, sehingga perniagaannya mengalami kemajuan dan keuntungan yang pesat. Rasulullah selalu mengajak sang istri tercinta untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat dalam segala urusan serta mendengarkan pendapatnya dengan seksama.
Oleh karena itu, Khadijah sangat bahagia, ia bisa meringankan beban urusan perniagaannya dari pundaknya dan menyerahkan segala urusan perniagaan kepada sang suami untuk mengembangkan dan mengurusi jalannya perniagaan. Sedangkan Khadijah mengerahkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk mengurusi rumah tangga, berusaha keras untuk membahagiakan sang suami dan anak-anaknya.
Kerjasama antara Siti Khadijah dengan suaminya, selain dalam bidang perniagaan, keduanya juga bekerjasama dalam berdakwah. Setelah masuk Islam, Khadijah segera kepada Islam baik dengan perkataan maupun amalan praktis. Hasil dakwah pertama-tama adalah hamba sahayanya yang bernama Yazid, dan keempat putrinya.
Sikap yang dilakukan Siti Khadijah terhadap suaminya di atas adalah salah satu ciri sikap istri saleha yaitu ia terlebih dahulu memiliki persiapan untuk menatap kehidupan, bersikap sabar, melakukan pembaharuan, berpikir tentang masalah yang berskala besar, melakukan perbuatan yang berguna, mencari inspirasi, mencari penjelasan yang dalam, menikmati apa yang ada dan kreatif.
Sumber:
Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
al-Istambuli, Mahmud Mahdi dan Asy-Syalbi. Wanita-wanita Sholihah dalam Cahaya Kenabian. Muh. Azhar (terj.). Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2002
Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007
Utsman, Muhammad. Sulitnya Menjadi Istri Idaman. Hermawan (ed.). Smart Media: Pajajaran. 2007
tsanny yasin
22 November 2014 at 11:34 pm
Assalamualaikum terimakasih penulis. Tetaplah menulis agar kisah2 ini terus dapat dibaca oleh muslim sebagai ladang daqwah semga allah menbalasnya dgn pahala yg ter baik aamin