Letak Geografis Jazirah Arab
Jazirah dalam bahasa Arab berarti ‘pulau’, jadi Jazirah Arab berarti Pulau Arab. Oleh bangsa Arab, tanah air mereka disebut jazirah, walaupun hanya dari tiga dari tiga jurusan saja dibatasi oleh laut. Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu Shibhul Jazirah yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Semenanjung’. Kalau diperhatikan kelihatan bahwa Jazirah Arab itu berbentuk empat persegi panjang, yang sisi-sisinya tiada sejajar.[1]
Semenanjung Arab merupakan semenanjung Barat Daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia. Wilayahnya, dengan luas 1.745.900 km2, dengan luas daratan sekitar 1.014.900 km2. Di antara sejumlah daratan gurun di kawasan ini, terdapat tiga jenis gurun, yaitu:
- Nufud Besar, sebuah bentangan dataran berpasir putih atau kemerahan yang menyelimuti wilayah yang sangat luas di semenanjung Arab Utara.
- Al Dahna (tanah merah), dataran yang berpasir merah ini membentuk pola busur besar mengarah ke sebelah Tenggara, dengan panjang lebih dari 1.020 km2.
- Al Harrah, sebuah daratan yang terbentuk dari lava bergelombang dan retak-retak di atas permukaan pasir berbatu. Bentangan daratan vulkanik ini banyak dijumpai di wilayah semenanjung sebelah Barat dan Tengah, dan menjorok ke Utara.[2]
Jazirah Arab berbentuk memanjang. Batas-batas jazirah Arab yaitu: di sebelah Utara dengan Palestina dan padang Syam; di sebelah Timur dengan Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia; di sebelah Selatan dengan Samudera Hindia dan Teluk Aden; sedang di sebelah Barat dengan Laut Merah. Jadi, dari sebelah Barat dan Selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari Utara padang Sahara dan dari Timur padang Sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi 1.000 km, demikian juga luasnya sampai 1.000 km pula. Dan lebih-lebih lagi yang melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah merasa enggan melihatnya.
Pada daerah yang seluas itu sebuah sungai pun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah Selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Sama sekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang Baduwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.[3]
Arab sebagai Lalu-lintas Kafilah Dagang
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimana pun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat, antara Romawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja Sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat itu.[4]
Asal Keturunan Bangsa Arab
Bangsa Arab terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Arab Ba’idah, Arab Aribah, dan Arab Mutsa’ribah. Semuanya berasal dari satu kakek, yaitu Sam bin Nuh. Ketiga kaum tersebut dijabarkan sebagai berikut.
- Arab Ba’idah, yaitu bangsa Arab yang telah punah dan musnah adalah kaum Thasam, Judais, Ad, dan Tsamud. Kaum Thasam dan Judais musnah akibat saling memerangi. Sementara kaum Ad dan Tsamud, mereka besikukuh dalam kemusyrikan dan mendustakan Rasul-Nya, hingga Allah membinasakan mereka semua.
- Arab Aribah, yaitu bangsa Arab keturunan Ya’rub bin Yasyjab bin Qahthan. Oleh karena itu, mereka sering disebut sebagai kaum Qahthaniyyun, bersepupu dengan kaum Amaliqah yang berdiam di Hijaz dan Syam. Mereka juga masuk ke Mesir dan tersebar di negeri-negeri lain di sekitar Jazirah Arab.
- Arab Mutsa’ribah, yaitu bangsa Arab keturunan Ismail bin Ibrahim. Bahasa Ibrahim bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Siryan, yang merupakan bahasa kaum Kildan di Babilon, Iraq. Beliau juga bisa bahasa Kan’an di Syam. Beliau sama sekali tidak berbicara bahasa Arab. Sedangkan, Ismail yang hidup dan berdiam di Mekkah, ia pun belajar bahasa Arab. Ia mampu menyaingi kaumnya sendiri dalam berbahasa Arab. Dalam hubungan ini, keturunan Ismail disebut Arab Mutsa’ribah (Arab yang diarabkan), karena kakek mereka (Ibrahim) bukan orang Arab, sedangkan mereka dan Ismail adalah orang-orang yang diarabkan.[5]
[1] Ahmad Syalabi dalam http://centrin21.tripod.com/sejarah.htm
[2] Phillip K. Hitti. History of the Arabs. 2006. 16-20
[3] Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. 1980. 12
[4] Sir Muir. The Life of Mohammad dalam http://rasulullahsaw.atwiki.com/arab-pra-islam
[5] Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 2007. 20
Yaya
8 Juni 2010 at 2:07 pm
Arab Mutsa’ribah (Arab yang diarabkan), karena kakek mereka (Ibrahim) bukan orang Arab, sedangkan mereka dan Ismail adalah orang-orang yang diarabkan.[5]
Si Al Jazairi karena bukan arab lantas mengatakan Ibrahim bukan Arab 🙂 ato mungkin kesalahan interprestasi penulis 🙂 hehehe tidak satupun ada fakta bahwa Rasul saw atau bahkan Quraisy sendiri mengatakan bahwa dia bukan arab. Istilah Arab Mutsa’ribah sendiri bukan berarti mereka bukan bangsa arab, seperti Orang bule yang kawin dengan malayu kemudian di Malayukan. 🙂 ABRAM atau Ibrahim a.s, yang tergolong Arab Mutaarriba namun kemudian berlisan Ibrani. Tahukah anda antara Ibrahim.as dan Arab Qohtaniyah yang berasal dari satu kakek bertemu pada kakek mereka (Abir/Eber) hanya 5 sampai 6 generasi. 🙂
imron fauzi
9 Juni 2010 at 5:20 am
Terima kasih atas informasinya….
Kita sama-sama belajar….
Bang Sabeni
17 Juni 2010 at 9:03 am
Kok tulisan eyke dihapus om 🙂 Ismail a.s kenapa tidak disebut Malayu Mutsa’ribah ataw Ajami Mutsa’ribah atau Ibrani Mutsa’ribah atau Rum Mutsa’ribah, sekiranya dia bukan bangsa Arab 🙂 atau Babilonia Mutsa’ribah.. hehehe…
Disebut ‘Arab Mutsa’ribah (diArabkan ulang) Karena pada hakikatnya mereka berasal dari Ras yang sama. Nenek Ibrahim dan Qohtan/Joktan hanya dipisah 4 generasi coy.. Apakah keturunan yang dihasilkan dari nenek kita yang ke 4 dapat menjadi bangsa yang berlainan????? 🙂
BLAJAR YANG BANYAK YA…..
Bang Sabeni
17 Juni 2010 at 9:13 am
Ops.. maaf ya, hapus saja tulisanku yg kedua. Qu pikir tulisanku tdk dimuat…
imron fauzi
18 Juni 2010 at 1:40 pm
Tulisan yang mana pak? Makasih atas komentarnya ya….. Tapi kalo bisa yang obyektif dan sistematis…..
ainan
1 Maret 2014 at 11:13 pm
Hmm.. tampaknya definisi Arab telah menyimpang jauh karena orang mendefinisikan atau menyimpulkan sesuatu berdasarkan etimologi atau arti kata, bukan berdasarkan fakta sejarahnya. Biasalah penyakit ahli sejarah kita. Berbeda sekali dengan penulis-penulis sejarah barat, yang begitu tajam analisanya. Tdk heran al-Zaitunah Universiti di Tunis tdk menerima mahasiswa kita utk fak agama, kecuali fakultas sejarah.
Memang lucu juga, Joktan sendiri adalah nama ibrani, ibnu Ishaqlah yg mentranslate nama itu sehingga menjadi Qahthan. Jika dirunut dari akar sejarahnya justru si Gahtan inilah yg Ibrani asli, diapun berasal dari arabia utara, bukan selatan. kita bisa melihat nama2 saudaranya yg terasa betul ibraninya.