Kini, kita dihadapkan pada permasalahan syafaat dan pengaruhnya terhadap kehidupan duniawi kita. Permasalahan ini bisa kita jabarkan dalam bentuk pertanyaan berikut ini.
Apakah meminta syafaat kepada selain Allah Swt untuk hal-hal yang bersifat duniawi dibenarkan dalam syariat Islam? Syafaat semacam ini, seperti meminta rezeki, memohon kesembuhan dari penyakit, keberhasilan dalam usaha, atau keselamatan dari bahaya dan semua hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, bisakah mendatangkan manfaat bagi seseorang? Singkatnya, apakah hal itu diperbolehkan dalam agama dan adakah faedah dibaliknya?
Mengenai pertanyaan “Apakah hal itu dibenarkan dalam agama?”, sebelum ini telah kami jelaskan bahwa Allah memberi izin kepada sekelompok manusia yang Dia ridhai untuk memberikan syafaat kepada siapa saja yang Dia ridhai. Banyak juga riwayat hadis yang menguatkan hal tersebut dan sudah kami jelaskan sebelumnya. Jadi, untuk pertanyaan pertama, jawabannya sudah jelas.
Dalam menjawab pertanyaan kedua yaitu, “Apakah syafaat bisa berguna untuk mendatangkan kebaikan dan keberuntungan di dunia?” kami katakan bahwa, salah satu arti syafaat, seperti yang telah kami utarakan pada bagian pertama buku ini, adalah doa. Nabi Saw memberikan syafaat kepada seorang mukmin artinya bahwa beliau Saw memohon kebaikan dari Allah untuk orang tersebut.
Sayyid ‘Amili berkata, “Syafaat Nabi Saw atau syafaat orang selain beliau adalah permohonan dan doa yang mereka mintakan kepada Allah Swt untuk orang lain demi pengampunan dosa atau tersampaikannya hajat.” Jadi, syafaat adalah salah satu bentuk doa dan pengharapan. Mengenai ayat: “Orang yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan orang yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) dari padanya.”[1]
Naisaburi meriwayatkan dari Muqatil, bahwa ia berkata, “Memohonkan syafaat kepada Allah adalah dengan cara berdoa untuk seorang muslim. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah bersabda, “Jika seseorang berdoa untuk seorang muslim tanpa sepengetahuannya maka doa tersebut pasti akan dikabulkan oleh Allah, dan malaikat akan berkata kepadanya: Semoga Allah memberimu apa yang kau mintakan untuknya.”[2]
Dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa doa seorang mukmin untuk mukmin lainnya dalam segala hal yang menyangkut urusan duniawi dapat dilakukan dan ada faedahnya. Hal ini ditegaskan lagi oleh hadis Nabi yang memerintahkan kaum mukminin untuk saling mendoakan satu sama lain. Ibrahim bin Abi Al-Bilad berkata, Rasulullah Saw pernah bersabda, “Jika ada orang yang meminta sesuatu dari kalian dengan menyebut nama Allah, penuhilah permintaannya. Jika seseorang melakukan suatu kebaikan untuk kalian, balaslah budinya. Namun, bila kalian tidak bisa membalasnya dengan apa yang sesuai dengan kebaikannya, mintalah kepada Allah untuk membalasnya. Dengan begitu, berarti kalian telah membalas budi orang tersebut.”[3]
Kata-kata seperti جزاك الله خيرا (Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) yang diucapkan sebagai pengungkapan rasa terima kasih termasuk doa dan syafaat yang dimohonkan kepada Allah Swt untuk orang tersebut. Masih banyak lagi kalimat lainnya yang sering kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari kepada sanak keluarga dan para sahabat. Doa dan syafaat seperti ini bisa diterima oleh semua kalangan, tanpa ada yang memperselisihkannya.
Permasalahan yang ada dan telah menjadi polemik seru antara kelompok yang setuju dengan syafaat dan mereka yang tidak menerimanya adalah mengenai syafaat dan permintaan seseorang kepada mereka yang telah meninggal dunia, atau dengan kata lain meminta sesuatu kepada orang mati.
Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Kritik Atasnya
Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya berpendapat bahwa meminta sesuatu berhubungan dengan kebutuhan duniawi atau lainnya kepada orang yang sudah mati sama dengan syirik.
“…Jika ada orang yang mengatakan, “Aku meminta kepada orang ini karena ia adalah orang yang lebih dekat dengan Allah daripada aku, supaya dia menjadi syafi’-ku dalam hal-hal ini. Apa yang kulakukan dengan menjadikan orang yang dekat dengan Allah itu sebagai penghubung antara aku dengan-Nya sama dengan apa yang biasanya dilakukan orang dengan menjadikan orang yang dekat dengan raja sebagai penghubung.”
Ketahuilah, bahwa apa yang ia lakukan itu sama dengan perbuatan mereka yang menjadikan para rahib sebagai pemberi syafaat dalam urusan-urusan mereka. Ia juga sama dengan kaum musyrikin yang mengatakan,
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya…”[4]
Kesalahan pertama yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah adalah menyamakan doa dan syafaat dengan ibadah kepada selain Allah.
Padahal syafaat tidak memiliki arti penyembahan sama sekali, baik dilihat dari sudut bahasa maupun dari sisi istilahnya. Selain itu, faktor yang mendorong seseorang untuk meminta syafaat berbeda sekali dengan faktor yang mendorong orang untuk menyembah berhala, manusia, atau lainnya yang oleh kaum kafir dan musyrik diklaim sebagai penghubung kedekatan mereka dengan Allah.
Pada pembahasan yang lalu juga telah kami sebutkan riwayat yang menceritakan bahwa khalifah Abu Bakar setelah Nabi Saw wafat mendatangi jenazah manusia suci itu. Setelah menyingkap kain yang menutupi wajah Nabi Saw dan mengucapkan salam kepadanya, ia meminta agar beliau Saw mendoakannya di sisi Allah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Ali. Jika Ali yang disebut oleh Nabi Saw sebagai pintu kota ilmu telah melakukan hal demikian, berarti agama memperbolehkan kita untuk memohon sesuatu kepada Rasulullah Saw meskipun beliau Saw telah wafat.
Coba kita perhatikan dua ayat di bawah ini.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka itu hidup di sisi Tuhan dan mendapat rezeki…”[5]
“Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka) itu mati, (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya…”[6]
Kedua ayat di atas dengan sangat jelas menyebutkan adanya kehidupan pascakematian. Hanya saja, manusia sebagai makhluk yang akrab dengan unsur materi, tidak dapat merasakan dan mengenalnya secara benar kecuali setelah ia mati.
Allamah Thabathaba’i dalam menafsirkan ayat kedua di atas mengatakan, “Ayat ini dengan jelas menunjukkan akan adanya kehidupan di alam barzakh (alam kubur), sama seperti ayat yang mirip dengannya yaitu ayat, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki…”[7]
Sedangkan mengenai kaum mukminin lain yang tidak terbunuh di jalan Allah, banyak hadis dan riwayat yang menyebutkan bahwa mereka juga hidup di alam barzakh dan mengunjungi keluarga mereka di dunia.
Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari ayahnya dari Ibn Abi ‘Umair dari Hafsh bin Al-Bukhturi dari Abu Abdillah Imam Ja’far Sadiq, beliau berkata, “Sesungguhnya orang mukmin yang telah meninggal dunia akan datang mengunjungi keluarganya untuk melihat apa yang mereka perbuat. Ia hanya dapat melihat apa-apa yang bisa membuatnya senang, karena Allah telah menutup untuknya apa yang ia benci. Sedangkan orang kafir ketika mendatangi keluarganya ia hanya akan melihat apa-apa yang ia benci karena Allah telah menutup baginya semua hal yang membuat hatinya senang…Sebagian dari mereka yang telah mati ini berkunjung setiap hari Jum’at dan ada pula yang berkunjung sesuai dengan amal perbuatannya dahulu.”[8]
Setelah melihat penjelasan ayat dan riwayat di atas, tidaklah salah bila kita katakan bahwa mereka yang telah meninggalkan alam dunia ini dan berada di alam sana mendengar, melihat, dan mendoakan orang-orang mukmin lain yang masih berada di dunia demi terkabulnya hajat dan kebutuhan mereka. Dalam hal ini Allah berfirman, “Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka memberi kabar gembira kepada orang-orang yang masih hidup setelah mereka, bahwa tiada sesuatu yang mesti mereka khawatirkan dan tidak pula ada sesuatu yang menggelisahkan hati. Mereka bergembira atas nikmat dan karunia besar yang Allah berikan. Allah tidak menyia-nyiakan pahala mereka yang beriman.”[9]
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari semua penjelasan di atas adalah bahwa ada kehidupan pasca- kematian. Dalam kehidupan tersebut, orang kafir akan disiksa sedangkan orang mukmin akan mendapat kenikmatan dari Allah sehingga mereka bergembira dan memberi kabar gembira akan kenikmatan tersebut kepada mereka yang masih hidup. Dengan demikian, jelaslah bahwa apa yang dikatakan oleh sementara orang mengenai terputusnya semua hubungan orang yang telah meninggal dunia dengan mereka yang masih hidup, seperti yang dikatakan oleh mereka yang mengharamkan ber-tawassul dengan orang mati, adalah pendapat yang salah karena bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran.
Sebelum mengakhiri bagian ketiga ini, ada baiknya kami nukilkan sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw berkenaan dengan masalah yang kita bahas ini. Setelah berakhirnya perang Badr Kubra dengan kemenangan di pihak kaum muslimin, Rasulullah Saw berdiri menghadap mayat-mayat korban perang dari pihak kaum kafir Mekah seraya bersabda, “Wahai tubuh-tubuh yang tak bernyawa, kalian adalah kaum kerabat terburuk bagi seorang nabi. Kalian telah mendustakan kenabianku padahal orang lain menerimaku. Kalian musuhi aku sedangkan orang lain memberiku perlindungan. Kalian pun memerangi aku padahal orang lain mau membelaku…” Kemudian beliau bersabda “Apakah kalian sudah mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Tuhanku?”[10]
Kitab terakhir ini juga menceritakan bahwa setelah Nabi Muhammad Saw bersabda demikian kepada korban-korban perang tersebut, sebagian dari sahabat beliau berkata, “Ya Rasulullah, mengapa Anda berbicara dengan mereka padahal mereka sudah mati?” Beliau menjawab, “Pendengaran kalian tidak lebih peka dari pendengaran mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab kata-kataku.” Kisah ini direkam oleh banyak ahli hadis dan pakar sejarah Islam baik dari kalangan Ahlus-Sunnah maupun Syi’ah. Kisah ini dapat juga Anda temukan dalam kitab Shahih Al-Bukhari 5 hal. 76–77, 86- 87 dalam kisah perang Badr. Juga kitab Shahih Muslim 8 hal. 163 kitab Al-Junnah bab Maq’ad Al-Mayyit, Sunan Al-Nasa’i 4 hal. 89-90 bab Arwah Al-Mukminin, dan Bihar Al-Anwar 19 hal. 346.
Jika mereka yang telah mati dan meninggal dunia tidak bisa mendengar, apakah berarti Rasulullah Saw telah melakukan perbuatan yang sia-sia dengan mengajak mereka berbicara, padahal beliau tidak pernah berkata sesuatu dari dirinya sendiri melainkan wahyu yang diterimanya dari Allah?
[1] QS. Al-Nisa’: 85
[2] Sayyid Muhsin Al-‘Amili, Kasyf Al-Irtiyab hal. 196
[3] Syeikh Hurr Al-‘Amili, Wasil Al-Syi’ah ila Tahshil Masa’il Al-Syari’ah 11 hal. 537/ kitab Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy ‘an Al-Munkar, Abwab Fi’l Al-Ma’ruf
[4] Ibn Taimiyyah, Ziarah Al-Qubur wa Al-Istinjad bi Al-Maqbur hal. 156. Ayat dari QS. Al-Zumar: 3
[5] QS. Ali Imran: 169
[6] QS. Al-Baqarah: 154
[7] Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran 1 hal. 347 – 348
[8] Al-Kafi 3 hal. 230/1 bab Inna Al-Mayyita Yazuru Ahlahu
[9] QS. Ali Imran: 170–171
[10] Al-Sirah Al-Nabawiyyah 1 hal. 639, Al-Sirah Al-Halabiyyah 2 hal. 179 – 180
pendidikan islamiyah
14 Juni 2012 at 11:17 pm
postingan yg bagus mas.
namun kalau bisa mas saya mohon hadits para pemberi syafaat dan hadits qudsi laulaka laulaka muhammad. dengan arabnya dan kalau bisa dengan nama kitab dan shahifah berapa.
atas perhatiannya saya ucapkan syukron katsiron.
imron fauzi
15 Juni 2012 at 5:13 pm
Terima kasih atas saran dan kritikannya…