Kehidupan Fatimah bersama Ali sangatlah sederhana. Mereka tak memiliki perabot rumah tangga kecuali alat memasak saja. Mereka tak memiliki kasur kecuali sebuah ‘kasur’ tipis terbuat dari jerami gandum yang dibungkus kain kasar. Fatimah pun tak memiliki perhiasan kecuali sebuah kalung emas yang sudah lama dan jarang dikenakannya.
Suatu hari Fatimah datang kepada Rasulullah. Wanita mulia bergelar Az-Zahra itu mengucap salam dan meminta izin untuk masuk. Setelah Rasulullah mempersilakan, betapa bahagianya Fatimah berada di dekat sang ayah. Keduanya berbincang dengan ceria. Wajah keduanya berbinar bahagia, laksana terobatinya kerinduan karena lama tak berjumpa.
Tiba-tiba, air muka Rasulullah berubah ketika beliau tahu Fatimah mengenakan kalung emas di lehernya. Fatimah mengerti bahwa ayahnya sedang marah.
Fatimah tak kuasa berkata apa-apa. Ia keluar dari kediaman Rasulullah dengan kesedihan yang menyesakkan dada. Selama ini Fatimah tak rela ada orang yang membuat Rasulullah marah atau sedih. Namun kini, dirinya yang membuat sang Nabi berduka? Gara-gara kalung ‘butut’ itu?
Fatimah tak perlu waktu lama untuk menimbang. Kalung itu tak boleh ia pakai, tak boleh ia miliki lagi. Lalu dikemanakan? Apakah dijual dan dibelikan budak agar bisa membantunya? Karena selama ini Fatimah sendiri yang mencuci, memasak dan menggiling gandum. Sebenarnya fisik Fatimah lelah. Namun Fatimah khawatir Rasulullah tidak berkenan. Apalagi budak itu nanti akan mengingatkan Rasulullah pada kalung itu.
Akhirnya Fatimah memutuskan menjual kalung itu. Uangnya ia belikan budak. Tetapi bukan untuk membantunya. Setelah dibeli, budak itu segera dimerdekakannya.
Kini Fatimah kembali menghadap Sang Nabi. Sebelum Rasulullah bertanya, Fatimah mendahuluinya dengan memberikan laporan.
“Aku telah menjual kalung itu,” Fatimah berkata kepada Rasulullah yang serius mendengarkannya, “dan uangnya kupergunakan untuk membeli budak yang kemudian kumerdekakan.”
Seketika wajah Sang Nabi berseri-seri. Keceriaan dan kebahagiaan kembali menghiasi wajah Rasulullah yang suci.
Lalu, bagaimana dengan kita, yang selalu menumpuk perhiasan? Bagaimana dengan cara marahnya kita? Bagaimana sikap kita terhadap orang tua kita…?