>>> Dahsyatnya Memaafkan
Ternyata dengan memaafkan banyak hal dashyat yang bisa kita dapat, namun walau begitu kita sadari saja masih banyak dari kita ini terutama kaum muda yang masih sulit untuk MEMAAFKAN ketimbang mengeluarkan kata MAAF.
Padahal Rasulullah dalam hidupnya itu seorang yang Pemaaf. Tapi itukan Rasulullah, kita kan bukan Rasulullah? Ya pertanyaan itu biasa terlontar dari mulut dan pemikiran kita.
Bukankah sudah dijelaskan berkali-kali bawah kita hidup sebagai umat Nabi Muhammad yang harus mengikuti jejak kehidupan beliau, jika beliau pemaaf kita pun harus bisa menjadi pemaaf.
Rasulullah pernah mewasiatkan bahwa kematian itu seperti kambing yang tengah dikuliti dalam keadaan hidup-hidup. Itulah juga yang dialami oleh Al-Qamah. Penderitaan sesakit kambing yang dikuliti hidup-hidup itu tengah dikecapnya.
Apa yang menyebabkan Al-Qamah begitu “betah” dengan sakaratul maut yang menyiksa? Rupanya, Al-Qamah tidak mendapatkan ridha dari ibunya. Ibunya marah dan sakit hati lantaran Al-Qamah lebih memedulikan istrinya ketimbang dirinya.
Setelah dibujuk sedemikian rupa, ibunda Al-Qamah tetap pada pendiriannya untuk tidak meridhai dan memaafkan Al-Qamah. Bahkan, orang sekaliber Rasulullah pun tidak membuat ibunda Al-Qamah mengubah pendiriannya. Betapa terlalu menyakitkan apa yang telah dilakukan Al-Qamah terhadapnya.
Rasulullah lalu menyuruh sahabat untuk membakar Al-Qamah agar penderitaan Al-Qamah lekas berakhir. Tentu saja, itu siasat belaka. Pendirian ibunda Al-Qamah goyah, lalu maaf pun diberikannya. Selepas itu, Al-Qamah mengembuskan napas terakhir. Ke alam baka, dia menggendong maaf ibunda.
Lalu, apakah memang berat memaafkan itu sehingga ada yang mencetuskan kalimat “MEMAAFKAN ITU LEBIH SULIT DARIPADA MEMINTA MAAF.”
Menurut Dr. Ibrahim Elfiky, kiranya ada tiga mitos yang berkembang di masyarakat tentang betapa beratnya memaafkan.
[1] memaafkan berarti menunjukkan kelemahan diri.
[2] memaafkan berarti menerima luka dan penderitaan orang lain.
[3] memaafkan berarti melupakan.
Dr. Ibrahim Elfiky juga mengatakan, ada perbedaan besar antara memaafkan dan menyetujui sebuah tindakan. Meskipun kita memaafkan kesalahan seseorang, kita juga punya hak untuk tidak setuju dengan perbuatan seseorang. Kita hanya boleh membenci perilakunya, bukan orangnya.
Itulah mengapa, menurut Dr. Ibrahim Elfiky, memaafkan seseorang bukan berarti kita mesti melupakan perbuatannya. Di tengah masyarakat kita, dan ini menjadi mitos yang ketiga, memaafkan perbuatan seseorang berarti juga melupakannya.
Padahal, menurut Dr. Ibrahim Elfiky, dengan tidak melupakan perbuatan zalim meskipun kita memaafkannya, akan membuat diri mawas sehingga kita tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa depan. Yang harus dilakukan adalah memaafkan orangnya, ambil pelajaran dari situasinya, ingat selalu pelajarannya, lalu lepaskan emosi negatif yang menyertainya.
>>> Rasulullah Itu Paling Pemaaf
Di awal risalah, orang yang paling banyak menerima perbuatan zalim adalah Rasulullah. Betapa beliau dinistakan, dilempari kotoran unta, dilempari batu, diancam akan dibunuh, bahkan terusir dari tanah kelahiran.
Namun, sederet kezaliman yang menimpa Rasulullah itu tidak lantas melunturkan pribadi agung Rasulullah sebagai pemaaf. Hal ini terbukti manakala Rasulullah berhasil menaklukkan Mekkah. Saat itu, posisi Rasulullah sudah bukan lagi si tertindas, tetapi penguasa yang memiliki kekuatan besar.
Orang-orang Quraisy yang pernah menzalimi Rasulullah di masa lalu sangat was-was bahwa Rasulullah akan menuntut balas. Nyatanya, Rasulullah Saw. memaafkan semua kesalahan kaum Quraisy yang pernah diterimanya.
>>> Memaafkan juga Menyehatkan
Memaafkan juga berimbas positif dengan kesehatan. Banyak psikolog yang telah melakukan penelitian mengatakan bahwa memaafkan dengan tulus akan meringankan beban hidup.
Worthington pernah melakukan riset dengan menggunakan piranti pencitraan otak. Dua orang, yang satu pemaaf dan yang satu pendendam, direkam pola gambaran otaknya.
Hasil percobaan menunjukkan, pendendam memiliki kecenderungan peningkatan kekentalan darah, ketegangan otot, dan tekanan darah yang tidak stabil, bahkan cenderung stres. Sedangkan yang terjadi dengan pemaaf justru sebaliknya, yakni tekanan darah stabil sehingga kinerja tubuh menjadi optimal.
Memaafkan itu sungguh ajaib. Allah berfirman, “Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat pada takwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 237).
Dalam ayat lain, “Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?” (Q.S. An-Nuur [24]: 22).
Rasulullah pun pernah bersabda, “Seseorang tidak dikatakan kuat karena dapat membanting lawan-lawannya. Tapi, orang yang kuat adalah dia yang mampu menahan emosinya saat marah.” (HR. Bukhari)
Bagaimana kawan-kawan setelah membaca kisah diatas? Masih takut untuk menjadi orang yang suka meminta maaf dan memaafkan? Dan masih tidak mau untuk mengikuti jejak Rasulullah sebagai orang yang pemaaf?