Suatu hari, Siti Khadijah mendapati suaminya pulang dari gua Hira ke rumah dalam keadaan menggigil, keringatnya deras mengucur, hainya berdenyut kencang, dan jantungnya berdebar-debar. Khadijah merasa saat itu suaminya sedang dilanda ketakutan. Tepancar dari raut wajahnya kekhawatiran dan katakutan yang sangat besar.
“Selimuti aku!, Selimuti aku!” seru Rasulullah kepada istrinya. Demi melihat kondisi yang seperti itu, tidaklah membuat Siti Khadijah menjadi panik. Kemudian ia menyelimuti dan mencoba untuk menenangkan perasaan suaminya. Lalu Khadijah berkata, “Dari mana engkau wahai suamiku? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian kembali kepadaku.” Khadijah melimpahkan rasa damai dan tentram ke dalam hati suaminya yang sedang dilanda kekhawatiran dan kegelisahan.
Maka, Rasulullah menceritakan kejadian yang telah dialaminya. Kini tanpa disadarinya, tahulah ia bahwa suaminya adalah utusan Allah. Siti Khadijah berusaha tidak memperlihatkan rasa khawatirnya, apalagi rasa curiga, justru ia pandangi suaminya dengan pandangan penuh hormat.
Setelah Khadijah meminta kejelasan dari suaminya, beliau mengatakan kepadanya, “Wahai Khadijah, aku sunnguh khawatir akan ada hal yang menimpa diriku.” Khadijah merangkul dan mendekap di dadanya, roman mukanya membangkitkan sifat keibuan yang telah berakar mendalam dihatinya. Kemudian, dengan lembut, Khadijah berkata: “Wahai putera pamanku, berbahagialah. Allah telah memilihmu untuk menjadi rasul-Nya. Engkau selalu baik pada tetangga, membantu kaummu, murah hati kepada anak-anak yatim, para janda, orang-orang miskin, serta ramah pada orang-orang asing. Allah tidak akan meninggalkanmu.”
Tutur kata manis dari sang istri menjadikan beliau lebih percaya diri dan tenang. Dengan kalimat itu, tentramlah hati Rasulullah. Dipandanginya Siti Khadijah dengan mata penuh terima kasih dan cinta yang mendalam sebagai suami terhadap istrinya. Setelah itu, Siti Khadijah mempersilahkan suaminya untuk tidur, karena ia melihat keletihan pada diri suaminya.
Rasulullah lega. Beliau mengerti sejak saat itu, Khadijah adalah “sarana” yang digunakan oleh Allah untuk memberikan kembali keberanian pada dirinya bila keberaniannya hilang dan yang akan mengutkan mentalnya bila semakin melemah. Saat itulah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Siti Khadijah.
Kelembutan tidak hanya disukai oleh semua manusia, akan tetapi Allah pun menyukai kelembutan. Dari Aisyah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam urusan semuanya.” (HR. Bukhari).
Diantara ciri spesifik istri saleha adalah selalu berupaya membangkitkan semangat dan menghidupkan harapan yang ada pada suami. Jelaslah bahwa perspektif seorang istri dalam kehidupan dan tingkat kemampuannya untuk membangkitkan semangat jiwa suami, serta persiapannya untuk membakar optimisme dalam dirinya merupakan salah satu unsur yang paling urgen bagi suami yang meraih kesuksesan.
Peranan yang dimainkan Siti Khadijah setelah suaminya, yang membawa misi sebagai utusan Allah untuk memproklamasikan Islam, sangatlah vital. Segera ketika Rasulullah melangkah dari rumahnya, ia telah menginjakkan kakinya di garis api. Orang-orang kafir menyiksanya dengan kata-kata kotor dan menyakitinya dengan tangan mereka. kesulitan-kesulitan yang dialami dalam tugas Rasulullah masih ditambah lagi dengan ocehan-ocehan para tetangganya yang cerewet. Namun, setelah beliau memasuki rumahnya, senyum Khadijah telah melunturkan semua kesulitannya. Khadijah membuka pembicaraan yang penuh kegembiraan, harapan dan kesenangan. Semua kecemasan dan rasa takutnya pun segera pudar.
Senyum kata-kata Siti Khadijah bagaikan obat yang mampu menyembuhkan luka-luka yang ditimpakan oleh orang-orang kafir kepada suaminya. Setiap hari Khadijah menyegarkan jiwa suaminya dan mengukuhkan mentalnya. Kegembiraan telah melenyapkan tekanan-tekanan yang menyesakkan dalam peristiwa-peristiwa di luar rumah dan beliau menjadi siap menghadapi musuh kembali dengan keyakinan baru.
Siti Khadijah mempunyai sifat sangat rendah hati. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia memutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, tetapi sungguhpun begitu ia tidak melupakan humor dan bersenda gurau, namun apa yang dikatakannya selalu yang sebenarnya.
Istri saleha selalu mempergunakan indera pendengarannya dengan baik, tidak pernah melupakan apa yang dikatakan oleh suaminya. Hal ini menunjukkan keseriusan sang istri, serta menampakkan bahwa ia benar-benar memperhatikan apa yang telah diucapkan suaminya.
Sesunguhnya, di antara usaha seorang istri untuk menentramkan suami adalah membuatnya nyaman jika ia pulang. Tersenyum untuknya, memperlihatkan keceriaan kepadanya, menenangkan pikirannya, tidak memicu persoalan dengannya, diam ketika ia berbicara dan tidak menyelisihi perkataan atau perintahnya.
Sumber:
Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
al-Istambuli, Mahmud Mahdi dan Asy-Syalbi. Wanita-wanita Sholihah dalam Cahaya Kenabian. Muh. Azhar (terj.). Mitra Pustaka: Yogyakarta. 2002
Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007
Utsman, Muhammad. Sulitnya Menjadi Istri Idaman. Hermawan (ed.). Smart Media: Pajajaran. 2007